Page Nav

HIDE

Gradient Skin

Gradient_Skin

Kabar Terbaru

latest

Konferensi Pers UJI COBA KEBEBASAN INFORMASI PUBLIK Permintaan Informasi Publik Pada Institusi Publik (SKPD) dan DPRD Kota Pontianak dan Provinsi Kalimantan Barat

Latar Belakang Dengan disahkannya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU-KIP No 14 Tahun 2008)...


Latar Belakang
Dengan disahkannya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU-KIP No 14 Tahun 2008), yang mensyaratkan transparansi informasi, maka keterbukaan lembaga publik untuk memudahkan setiap warga dan elemen masyarakat sipil untuk dapat mengakses segala informasi publik merupakan sesuatu kewajiban yang mestinya dilakukan oleh setiap Badan publik, terutama yang terkait dengan birokrasi pemerintahan yakni SKPD di lingkungan pemerintahan.

Dalam rangka melakukan ujicoba UU-KIP tersebut, JARI Borneo Barat telah berinisiasi dan melakukan serangkaian ujicoba, dengan meminta secara resmi beberapa dokumen yang kami anggap sebagai dokumen publik yang harusnya boleh di-akses oleh publik. Namun dalam proses permintaan informasi tersebut, ditemui banyak sekali kendala/permasalahan yang membuat proses permintaan informasi itu terkesan dipersulit dan ditemukan lembaga publik yang masih enggan memberikan informasi meskipun telah nyata itu merupakan kewajibannya.

Dalam kegiatan permintaan informasi ini, kami dari JARI Borneo Barat hendak mengemukakan beberapa catatan yang terkait dengan kegiatan tersebut :
a.       Dalam permintaan informasi, JARI Borneo Barat telah mengirimkan 34 surat secara resmi Badan Publik, dalam hal ini adalah Institusi Pemerintahan, yakni 14 permintaan informasi kepada Institusi SKPD termasuk Sekda di lingkungan Kota Pontianak, 2 permintaan informasi kepada DPRD Kota Pontianak. Kemudian, 16 permintaan informasi kepada Institusi SKPD termasuk Sekda di lingkungan Pemprov Kalimantan Barat, 2 permintaan informasi kepada DPRD Provinsi.
b.      Surat permintaan dan permohonan informasi tersebut disampaikan secara langsung kepada institusi terkait dan diterima oleh staf di institusi terkait, dengan nama penerima dan tanggal penerimaan yang tercantum.
c.       Adapun dokumen publik yang diminta adalah DPA di masing-masing institusi dan APBD pada institusi yang berwenang. Mengapa dokumen ini yang diminta, karena dokumen ini termasuk dalam bagian dokumen anggaran yang biasa kami teliti, dan sejatinya dokumen ini tidak terkategori dokumen publik yang dikecualikan informasinya, artinya dokumen ini sejatinya boleh di-akses oleh setiap warga masyarakat dan elemen masyarakat sipil, karena dalam dokumen ini memuat program-program pembangunan publik dan anggarannya yang terkait dengan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat.
d.      Dari 34 permintaan informasi publik secara resmi tersebut, hanya ada 1 lembaga atau institusi yang menerima permohonan kami dengan memberikan dokumen dan informasi publik yang dimaksud, yakni Badan Perpustakaan dan Kearsipan Prov. Kalbar. Sedangkan, sebanyak 32 permintaan informasi publik kepada lembaga/intitusi lainnya menolak memberikan dokumen tersebut dan 1 institusi mengabaikan permintaan informasi.
e.       Penolakan yang disampaikan baik melalui surat resmi dan lisan, dengan berbagai argumentasi, antara lain :
·         Pejabat yang berwenang tak ada di tempat,
·         Harus mendapatkan izin dari pejabat yang lebih tinggi seperti melalui Sekda dan kepala daerah,
·         Dokumen merupakan dokumen arsip yang tidak boleh dicopy dan dibagikan,
·         Dokumen yang dimaksud tidak ada.
·         Dokumen yang dimaksud belum disahkan,
·         Di-arahkan untuk meminta kepada institusi lain.

Asumsi
Ternyata, meskipun UU KIP telah disahkan, dan mestinya telah di-implementasikan, ternyata faktanya di lapangan tidak banyak perubahan sikap dan budaya di kalangan birokrasi pemerintahan yang tetap menganggap bahwa beberbagai dokumen dan informasi publik tertentu menjadi ”tabu” atau terlarang untuk di-akses oleh masyarakat. Padahal dengan adanya UU KIP ini, sudah tidak ada alasan lagi bagi institusi publik untuk tidak membuka informasi seluas-luasnya kepada masyarakat yang memerlukan.

Namun, paradigma yang menganggapa bahwa dokumen dan infromasi publik itu adalah hanya untuk konsumsi kalangan birokrasi dan politisi di dewan saja masih kerap dan kentara terjadi. Sehingga yang kami temui dalam proses permintaan informasi ini, kecenderungan menolak begitu kentara, termasuk dengan mem-pingpong permintaan informasi ini kepada lembaga lain dan dengan argumentasi mesti mendapatkan izin dari pejabat yang lebih berwenang.

Jika dikaitkan dengan semangat demokratisasi dan desentralisasi termasuk semangat memberikan pelayanan publik yang optimal, maka dengan adanya UU KIP inipun belum mampu merubah sifat, sikap dan budaya birokrasi yang masih berbelit, tertutup dan tidak transparan.

Padahal, transparansi yang mensyaratkan adanya keterbukaan masyarakat untuk mengakses informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai adalah salah satu prinsip dasar untuk menuju tatanan pengelolaan pemerintahan yang baik dan bersih. Keterbukaan informasi sesungguhnya telah menjadi suatu kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan daerah. Untuk itu, pemerintah daerah dituntut proaktif memberikan informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang disediakannya kepada masyarakat. Dan hal ini harusnya menjadi standar integritas suatu pemerintahan yang mengaku demokratis.

Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, terselenggaranya sistem pemerintahan yang akuntabel dan transparan merupakan salah satu kunci perwujudan good governance dan clean government. Di dalam sistem dimaksud tercakup beberapa prasyarat yang harus dipenuhi tatkala transparansi dan akuntabilitas menjadi barometer. Di antara prasyarat itu adalah jaminan bahwa segala peristiwa penting kegiatan pemerintah (kegiatan badan publik) terekam dengan baik dengan ukuran-ukuran yang jelas dan dapat diikhtiarkan melalui proses informasi di mana kita bisa melihat segala yang terjadi dan terdapat di dalam ruang entitas itu, yakni entitas pemerintah.

Transparansi dan keterbukaan informasi adalah prinsip menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan didalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.

Sesuai dengan semangat UU KIP, memperoleh akses dan penyebarluasan informasi kepada publik adalah hak warga masyarakat, dan ini memang telah menjadi semacam suatu etika pergaulan internasional yang mesti ada untuk menjamin integritas dan keberlangsungan demokratisasi.

Berdasarkan dari kegiatan permintaan informasi yang kami lakukan, maka kami dapat menyimpulkan beberapa hal :
a.       Bahwa semangat, prinsip dan political will dari lembaga/institusi pemerintahan untuk mengadopsi keterbukaan, transparansi dan keberbasan informasi publik belum ada.
b.      Belum adanya perubahan, sifat, prilaku dan paradigma berfikir di kalangan pemerintahan yang masih menganggap dokumen dan informasi publik merupakan dokumen dan informasi yang dirahasiakan.
c.       Sebagian besar lembaga dan institusi pemerintahan tetap memegang teguh tradisi birokrasi berbelit, tertutup dan tidak transparan.
d.      Implementasi UU KIP tidak berjalan optimal, di-asumsikan dengan dua hal :
  • Pertama, karena aparatur-aparatur di lembaga/institusi pemerintahan memang belum pernah membaca, mengkaji, menganalisis dan memahami untuk kemudian menerapkannya.
  • Kedua, mereka telah tahu, pernah membaca, pernah mengerti tapi tidak faham makna substantif dari UU KIP tersebut.
  • Ketiga, mereka tahu, mengerti dan faham tentang UU KIP tersebut, tapi memang sejatinya mereka tidak mau mengimplementasikan karena menganggap UU KIP ini cenderung “membahayakan,” apalagi jika sampai semua dokumen dan informasi publik yang kerap mereka rahasiakan itu di-akses dan dikaji oleh masyarakat luas.

Rekomendasi
Dengan adanya temuan, kajian dan analisis ini, maka kami dari JARI Borneo Barat, mendesak agar :
a.       Segera dilakukan sosialisasi secara meluas tentang UU KIP, baik kepada masyarakat maupun lembaga/institusi publik terutama pemerintahan.
b.      Menuntut agar UU KIP segera di-implementasikan secepatnya sehingga tidak ada lagi argumentasi untuk menutup-nutupi dan merahasiakan dokumen dan informasi publik yang seharusnya dapat di-akses.
c.       Mendesak agar Komisi Informasi Publik segera terbentuk sebagai lembaga mediasi yang menangani sengketa informasi dan mengawasi implementasi UU KIP ini.
d.      Membentuk Standar Operasional Procedure (SOP) pelayanan Informasi.
e.       Menetapkan Pejabat Pengelola Informasi Daerah (PPID) di Kalimantan Barat.